BUDAYA HALAL BI HALAL DAN PENGARUHNYA
TERHADAP ASPEK SOSIAL, POLITIK, EKONOMI
DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
(Oleh : Joko Santoso, S.PdI. M.SI)
I. PENDAHULUAN
Istilah kebudayaan berasal dari kata budi, dengan memberi contoh budi manusia. Budi juga merupakan tata nilai yang dimiliki manusia sebagai sikap perilaku dan cara berfikir. Kata budi adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta ”buddhi” yang berarti intelek, kecerdasan akal, kemampuan untuk mempertahankan konsep yang telah diterima secara umum. [1]
Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Perbedaan ini selain disebabkan oleh adanya enam agama yang dimiliki dan diakui oleh Negara, 18.018 pulau, 33 provinsi, 378 kabupaten/kota, 403 suku dan etnis dan kurang lebih 300 bahasa lokal, juga disebabkan karena pengaruh dari budaya lain yang ikut bercampur di dalamnya, diantaranya; pengaruh budaya dari Cina, India, Arab, Barat dan Eropa.
Pengaruh budaya sangat alami dan otomatis, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku sering diterima begitu saja. Ketika kita ditanya mengapa kita melakukan sesuatu, maka kita akan menjawab secara spontanitas, “ya karena memang sudah seharusnya begitu”. Jawaban ini berupa jawaban otomatis yang menunjukkan atas pengaruh budaya dalam perilaku sehari-hari. Ketika kita berhadapan dengan masyarakat yang memiliki budaya, nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan kita, barulah menyadari bagaimana budaya tersebut telah membentuk perilaku. Kemudian akan muncul apresiasi terhadap budaya sendiri di saat berhadapan dengan budaya yang berbeda.
Tradisi Halal bi halal atau juga disebut Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Sebagaimana dimaklumi bahwa sepanjang bulan syawal masyarakat kita dalam berbagai ragam profesi, status sosial dan ”dinasti” tak ketinggalan mengadakan hajatan yang bernama halal bi halal. Hajatan ini pada mulanya milik umat Islam, tetapi belakangan menjadi milik nasional. [2]
Budaya dan kekhasan halal bi halal hendaknya juga menjadi sumber inspirasi dan perlu menjadi suatu sharing kehidupan iman yang kaya. Halal bi halal adalah sebuah jalan untuk membangun toleransi antar umat beragama dan membangun persaudaraan sejati.
Boleh saja kita berbangga akan tradisi persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama yang selama ini terbangun indah di Bumi Serumpun Sebalai, akan tetapi secara perlahan tapi pasti, persaudaraan selalu terancam oleh bingkai primodialisme dan fanatisme. Halal bi halal merupakan sarana untuk memerangi primordialisme dan fanatisme. Karena itu, halal bi halal harus mengarah kepada upaya membangun persaudaraan sejati.
II. PEMBAHASAN
A. Filosofi Idul Fitri
’Id berarti ”kembali” dan fithr berarti ”agama yang benar” atau ”kesucian” atau ”asal kejadian”. Kalau kita memahaminya sebagai ”agama yang benar”, maka hal tersebut menuntut ”keserasian hubungan”, karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar. [3]
Idul fitri adalah hari yang amat menggembirakan bagi umat Islam, lebih-lebih bagi mereka yang secara intensif melewatkan bulan Ramadhan dengan amal kebaikan. Sebab sebagaimana yang dijanjikan dalam sebuah hadist Nabi bahwa setiap muslim yang sanggup menjalankan ibadah puasa di siang hari bulan Ramadhan dan menghiasi malam harinya dengan shalat tarawih, iktikaf, tadarrus Al Quran dan perbuatan baik lannya, niscaya dosa-dosa masa lalunya akan mendapat ampunan dari Allah SWT.
Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin. Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya. Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai menangis, karena tidak ada yang dimakan. Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf (kelompok), di antaranya adalah kaum fakir miskin.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.
Tak dapat dipungkiri bahwa kadar kegembiraan yang dirasakan Umat Islam pada hari raya Idul fitri memang jauh berbeda dengan hari-hari besar lainnya. Hal itu tampak dari tata cara dan tradisi penyambutannya. Idul fitri acap kali disambut dengan begitu semarak, meriah bahkan terkesan mewah. Itulah fenomena yang benar-benar tak dijumpai di negara lain.
Salah satu indikator yang paling mencolok adalah memadatnya arus mudik menjelang hari ”H” Idul Fitri, sebuah peristiwa khas tahunan yang terjadi di negara kita. Para perantau rela mengeluarkan sejumlah uang dan berjubel di sentra-sentra transportasi demi sebuah tujuan, agar dapat segera menengok kampung halaman untuk sekedar berhari raya bersama sanak saudara sembari bersilaturrahim dan berhalal bi hala serta bermaaf-maafan dengan saudara.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
Namun sudah menjadi kebiasaan yang membudaya dan mendarah mendaging di kalangan masyarakat Indonesia, bahwa tradisi halal bi halal adalah wahana silaturrahim yang tepat dan dapat menumbuhkan rasa kasih sayang serta toleransi antar sesama agama, antar umat beragama dan antar umat beragama dengan Pemerintah.
B. Sejarah Halal Bihalal
Sebenarnya ungkapan ”Halal Bihalal” adalah murni made-in Indonesia. Karena kalau ditelisik secara linguistik, rangkaian kata tersebut tidak diketemukan dalam kamus maupun ensiklopedia Arab, sehingga orang Arab sendiri pun takkan mengerti maksud dari istilah di atas secara tepat sebelum menyelami kultur masyarakat Islam Indonesia. [4]
Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. [5]
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan.
Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.
C. Budaya Sungkem
Dalam budaya Jawa, seseorang ”sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau ”nyuwun ngapura”. Istilah ”ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab ”ghafura”. [6]
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?
Dengan demikian, diharapkan dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang lain, yang telah dimohonkan maaf yang bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain dengan jalan memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa imbalan kebaikan atau pengampunan dosa-dosanya. [7]
Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus). Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
D. Pengaruh Halal Bihalal Terhadap Aspek Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya
Menjelang Hari Raya Idul Fitri semua orang disibukkan untuk menyambutnya. Mulai dari pemerintah hingga rakyat jelata berlomba-lomba untuk mempersiapkan dirinya. Semua terlibat dalam menyambut satu berkah besar dan agung dari Alloh SWT ini.
Setiap menjelang Idul Fitri, pemerintah selalu disibukkan dengan berbagai macam Pekerjaan Rumah (PR). Dari perbaikan infrastruktur transportasi, penyediaan kebutuhan pokok, pengaturan pemudik, hingga Ru'yatul Hilal untuk menentukan waktu Idul Fitri. Dalam mengelolaan putaran Idul Fitri ini reputasi pemerintah dipertaruhkan.
Sementara itu, masyarakat juga tak kalah sibuknya. Para perantau akan pulang kampung (mudik) dengan segala perjuangan, suka dan dukanya. Mudik menjadi wajib bagi setiap perantau. Kereta api yang berjubel hingga sepeda motor dengan empat penumpang dan beberapa tas besar menjadi pemandangan yang menarik di sepanjang jalur mudik. Bagi sebagian orang, mudik tidak semata-mata untuk silaturahmi. Banyak tabiat manusiawi dan eksistensi yang lain yang ingin ditunjukkan. Untuk menunjukkan kesuksesan, gengsi, kerinduan akan alam serta barangkali juga dendam.
Idul Fitri mempengaruhi banyak aspek. Aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Secara politik, masyarakat akan melihat kerja pemerintah. Para politisi menggunakan momen ini untuk menampilkan kebaikan hati mereka, kesan sebagai orang yang peduli kepada orang lain. Hal ini akan terlihat bertebarannya spanduk si A, B maupun C mengucapkan selamat Hari Raya terutama di daerah pemilihan masing-masing. Semua itu sah-sah saja adanya walaupun terkesan basa-basi karena hal ini lazim dijumpai.
Dari segi ekonomi, perputaran uang saat lebaran akan meningkat tajam. Perpindahan uang dari kota ke desa di saat Idul Fitri sangat tinggi. Semua pelaku ekonomi meraih keuntungan yang berlipat. Sebagai contoh, tingkat hunian hotel melati hingga hotel bintang lima semua nyaris full booking, baik yang muslim maupun nonmuslim. Hal ini menarik untuk ditelusuri. Banyak orang kaya yang ditinggalkan pembantunya mudik. Sementara pengusaha dan pemilik toko, di samping ditinggal mudik juga karena baru mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat akibat perilaku kita yang konsumtif masyarakat saat Idul Fitri.
Menarik juga kita simak adalah tradisi-tradisi dan budaya yang muncul menyertai Idul Fitri. Mulai dari syawalan sampai halal bi halal. Budaya ini telah menjadi sunah (tradisi) yang khas di Indonesia. Tradisi tersebut secara langsung tidak ada dalam syari'ah. Tetapi menjadi semacam "wajib" untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang pimpinan tidak melanggar hukum dan syari'ah seandainya tidak menyelenggarakannya , tetapi dia akan menjadi gunjingan orang dan bawahannya karena melanggar kepatutan sosial.
E. Halal Bihalal Membina Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama
Salah satu aktivitas ritual yang menarik dan membanggakan saat Idul Fitri adalah halal bi halal. Halal bi halal dimaknai sebagai budaya saling memaafkan. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di tanah air dan telah menjadi tradisi negara-negara rumpun Melayu, tradisi kita juga, Negeri Serumpun Sebalai.
Halal bi halal adalah sebuah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan dan saling memberi kasih sayang. Halal bi halal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Lebaran yang dihayati sebagai sebuah pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu di dalam diri.
Dalam konteks ini, halal merupakan lawan dari haram. Sedangkan makna halal yang lain adalah baik. Maka dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna diperkenankan adalah yang baik dan menyenangkan. Atas dasar ini, selain berisi ajakan untuk saling memaafkan, halal bi halal juga dapat diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. [8]
Lebih luas lagi, halal bi halal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui lisan dan kartu ucapan, tetapi harus diiukuti perbuatan yang baik dan menyenangkan. Dan perbuatan untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain, seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat lebaran. Akan tetapi harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas mau mengungkapkan bahwa Islam adalah agama yang toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sarana untuk saling berlomba dalam kebajikan. Sampai di sini, menjadi jelas bahwa halal bi halal merupakan ritus keagaamaan sekaligus sebuah keutamaan moral untuk membangun persaudaraan sejati, persaudaraan yang terbebas dari fanatisme agama. Halal bi halal adalah sebuah modal untuk mengantisipasi segala bentuk pertikaian dan permusuhan. Akan tetapi ritus-ritus dan upacara keagamaan harus dimaknai dalam bingkai ziarah batin untuk mencari dan menemukan Tuhan sekaligus sebagai medium untuk memperbaharui, memperdalam, dan meningkatkan iman.
Keberadaan simbol, tanda, ikon dan upacara keagamaan merupakan alat bantu yang dapat mempertajam, mengasah dan mempermurni motivasi serta kemauan untuk menghadirkan ‘wajah’ Tuhan di tengah dunia. Menjadi hal yang amat naif bila upacara dan ritus keagamaan hanya dilihat sebagai sebuah setting pewartaan yang bermuara untuk mempengaruhi iman orang lain, dan lebih tragis lagi kalau suasana persaudaraan, kerukunan dan keakraban yang mewarnai setiap hari raya akan begitu cepat berubah menjadi suasana penuh curiga dan dendam bila berhadapan dengan isu-isu murahan. Upacara-upacara dan kekhasan halal bi halal hendaknya juga menjadi sumber inspirasi bagi yang lain dan perlu menjadi suatu sharing kehidupan iman yang kaya. Halal bi halal adalah sebuah jalan untuk membangun toleransi antarumat beragama, membangun persaudaraan sejati.
Boleh saja kita berbangga akan tradisi persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama yang selama ini terbangun indah di Bumi Serumpun Sebalai, akan tetapi secara perlahan tapi pasti, persaudaraan selalu terancam oleh bingkai primodialisme dan fanatisme. Halal bi halal merupakan sarana untuk memerangi primordialisme dan fanatisme. Karena itu, halal bi halal harus mengarah kepada upaya membangun persaudaraan sejati.
Ada empat ciri khas persaudaraan sejati. Pertama, kehendak baik (good will), artinya halal bi halal membutuhkan suatu kehendak yang baik, tidak menyandang prasangka apa pun, termasuk prasangka perbedaan SARA. Kedua, kehendak untuk berbuat baik. Berbuat baik, saling memaafkan berarti mendahulukan kebaikan sesama dan membelakangkan keuntungan diri sendiri. Terdapat sebuah inisiatif memaafkan, membangun keakraban. Karena memaafkan adalah sebuah kekuatan yang membebaskan. Ketiga, cara melaksanakan perbuatan baik. Di sini, dituntut disiplin yang tinggi dan tekad untuk mengamankan motivasi dan tujuan. [9]
Karena, pelaksanaan perbuatan baik, memaafkan kadang terancam oleh maksud-maksud terselubung. Keempat, misi memaafkan. Memaafkan adalah suatu upaya untuk membangun masyarakat yang berperadaban kasih dan bernuansa persaudaraan sejati. Memaafkan untuk membangun persaudaraan sejati dalam toleransi antarumat beragama.
Berangkat dari makna halal bi halal dan urgensinya untuk membangun persaudaraan sejati dalam toleransi hidup beragama mengharuskan pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, saling memaafkan hendaknya tetap menjadi warna masyarakat muslim Serumpun Sebalai. Akhirnya, Islam, di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil alamin.
Dengan demikian unsur terpenting dalam halal bihalal adalah silaturrahim yang menurut kacamata Islam merupakan sarana paling efektif untuk membangun tatanan ukhuwah antar sesama muslim dan antara Muslim dengan non Muslim. Seperti yang kita yakini bahwa Islam bukanlah agama yang hanya menghendaki hubungan erat dengan Tuhan, tetapi juga keharmonisan hubungan antar sesama manusia. [10]
Quraish Shihab dalam bukunya berpendapat bahwa halal bihalal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Hal tersebut sekaligus juga berarti bahwa hakikat yang dituju oleh acara halal bihalal tidak harus dibatasi waktunya seusai lebaran ’Idul Fitri’, tetapi setiap saat serta menyangkut segala aktivitas manusia. Walaupun memang harus diakui bahwa acara maaf-memaafkan dan silaturahim itu sangat sesuai dengan hakikat ’Idul Fitri’. [11]
Dan juga, Halal bihalal adalah merupakan wahana untuk menghilangkan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin, pejabat dengan rakyat, atasan dengan bawahan dan juragan dengan pekerja. Dalam halal bihalal diharapkan tidak adanya rasa gengsi dan mengedepankan ego, diantara kedua insan atau golongan yang berhalal bihalal saling membuka diri untuk mengakui kesalahan dan saling memberi maaf.
III. PENUTUP
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Halal bihalal pada mulanya merupakan tradisi umat Islam yang seiring dengan perkembangannya kini menjadi budaya milik nasional.
2. Halal bihalal sebagai wahana untuk menjalin Ukhuwah Islamiyah dan salah satu upaya untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama, karena halal bihalal telah diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat tanpa mengenal suku, ras maupun agama.
3. Halal bihalal identik dengan acara saling maaf memaafkan, walaupun halal bihalal tidak harus dibatasi waktunya, namun acara maaf memaafkan dan silaturahim itu sangat sesuai dengan hakikat ”Idul Fitri.
[1]. Musa Asy’arie dkk . Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal. 66.
[2]. Majalah Rindang. Halal bi Halal Sebagai Wahana Rekonsiliasi, ( Semarang: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah, 2005), hal. 36
[5]. R. Ay. Sri Winarti P . Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, ( Sukoharjo: Cendrawasih, 2002), hal. 35
[6]. Ibnu Djarir, Filosofi Idul Fitri, From : http://www.wawasandigital.com, Jumat, 14/03/2010, jam : 16.20 WIB.
[8]. Respi Leba Wartawan Bangka Pos Group, Halal Bihalal dan Toleransi Beragama, From : http://www.bangkapos.com, Jumat, 14/03/2010, jam : 16.30 WIB.
DAFTAR PUSTAKA
R. Ay. Sri Winarti P, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, Cendrawasih, Sukoharjo, 2002.
Musa Asy’arie dkk . Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1988.
Majalah Rindang. Halal bi Halal Sebagai Wahana Rekonsiliasi, Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 2005.
Ibnu Djarir, Filosofi Idul Fitri, http://www.wawasandigital.com, 2007.
Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992
Respi Leba Wartawan Bangka Pos Group, Halal Bihalal dan Toleransi Beragama, http://www.bangkapos.com, 2008.