selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com - selamat datang di masjack78.blogspot.com

Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence

REVIEW BUKU
KONFLIK DALAM YURISPRUDENSI ISLAM
Karya : Noel J. Coulson
(Oleh : Joko Santoso, S.PdI. M.SI)

1. KONFLIK WAHYU DAN AKAL

A.  Problem Akademik / Topik
Noel James Coulson menggambarkan bahwa adanya konflik dasar antara wahyu Tuhan dan pemikiran manusia (fuqaha). Coulson melukiskan hukum Islam sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dilahirkan oleh para fuqaha. Ciri dari 150 tahun Islam yang pertama, ialah adanya kebebasan pemikiran hukum dalam upaya memecahkan berbagai masalah yang secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. [1]
Norma hukum semacam ini seperti yang ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah pada dasarnya dipandang tidak lebih sebagai modifikasi ad hoc dari adat yang ada. Hukum adat yang berlaku masih merupakan norma tingkah laku yang diterima kecuali kalau digantikan secara khusus oleh ketentuan-ketentuan wahyu Tuhan. Dan kalau keadaan baru menimbulkan problem baru, hal ini diserahkan kepada ahli hukum (faqih) berdasarkan pertimbangan yang dipandang sesuai. Dalam proses mengungkapkan pendapatnya yang dikenal dengan ra’yu, setiap orang bebas memperhitungkan faktor-faktor yang ia anggap relevan.[2]
B.  Ruang Lingkup Pembahasan
Coulson dalam mengungkapkan interaksi unsur wahyu Tuhan dan akal manusia dengan studi kasus tentang warisan. Coulson mengambil studi kasus tentang warisan karena beberapa hal: Pertama, tidak ada topic dalam hukum Islam yang berciri individu yang lebih tegas dari pada topic tentang pewarisan. Ketelitian di dalam penentuan prioritas para ahli yang sah, penetapan jumlah hak mereka, pada umumnya dipandang oleh para sarjana Muslim (ulama) sebagai puncak prestasi pemikiran hukum dan masterpiece dari keseluruhan system hukum. Kedua, hukum warisan merupakan bagian integral dan vital dari hukum keluarga dan dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai titik pusatnya, karena system prioritas dan nilai kuantitatif telah ditetapkan hak dari masing-masing sanak famili itu menempati dalam skema pertalian dan tanggung jawab keluarga. [3]
Coulson menggambarkan bahwa hukum Islam dalam bentuk perkembangannya merupakan sebuah hukum para ahli hukum (fuqaha) dan bukan hukum para hakim. Hal itu diekspresikan dalam buku-buku sebagai doktrin fuqaha, tidak dalam hukum yang melaporkan kandungan keputusan-keputusan pengadilan. Itu merupakan system di mana teoritisi hukum mengkontrol praktisi hukum.
Pada masa sahabat ketika mereka tidak menemukan nash dalam Al Quran dan As Sunnah, yang menunjukkan hukum sesuatu yang mereka hadapi, maka mereka berijtihad, dengan jalan istinbath dengan berpegang pada kebiasaan mereka dalam menentukan hukum, dari hasil pengalaman mereka dalam bergaul dan berdialoq dengan Nabi, dan penyaksian mereka tentang cara-cara Nabi menentukan hukum dan ijtihad beliau, serta penghayatan mereka terhadap rahasia-rahasia (asrar) tasyri’, dan asas-asasnya yang umum. [4]
Proses ini dikenal dengan qiyas (anologi). Oleh karena proses anologi harus menemukan tempat bertolaknya dalam perwujudan kehendak tuhan yang telah diterima, akal manusia terbatas dalam pelaksanaan dan pengembangan hukum Tuhan dan tidak dapat menjalankan sendiri terlepas dari wahyu.
D.  Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa di dalam menciptakan struktur hukum secara lengkap hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataannya, pemikiran para fuqaha melahirkan pemikiran yang cukup bervariasi. Ini mengabdikan norma-norma hukum adat yang sudah ada dengan merumuskan proporsi bahwa wahyu Tuhan secara diam-diam mengesahkan hukum adat jika wahyu tidak secara jelas menolaknya; analogi dipakai untuk memperluas putusan-putusan wahyu Tuhan yang spesifik, sedangkan “istihsan” mengesahkan penyimpangan kaidah dari analogi untuk mencapai suatu pemecahan yang dianggap lebih tepat. [5]
Tetapi bentuk apapun yang diambil, spekulasi yuridis pada masa klasik tidak dianggap sebagai suatu proses yang independent yang menciptakan lapangan hukum buatan manusia disamping peraturan-peraturan Tuhan; ia sama sekali tunduk kepada kehendak Tuhan, dan dalam beberapa hal yang berfungsi mencari pemahaman dan pelaksanaan maksud-maksud Allah bagi masyarakat muslim. Konflik seperti ini berkenaan dengan bidang wewenang dan peran akal sebagaimana sudah dalam yurisprudensi tradisional yang hanya berkenaan dengan cara, karena dengan tujuan ini dapat dicapai. Dari sudut ini hukum Islam adalah hukum Tuhan dan sekaligus hukum buatan manusia. Dalam pemikiran yurisprudensi Islam dua deskripsi tersebut adalah saling melengkapi dan tidak saling kontradiksi. [6]
 
2. KESATUAN DAN KERAGAMAN

A.  Problem Akademik / Topik
Noel James Coulson menggambarkan adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha. Menurut ajaran klasik, diyakini bahwa hukum syari’ah itu ada sebagai pemahaman tunggal dan aturan tingkah laku yang seragam dan ditentukan oleh Allah begi seluruh makhluk-Nya di atas bumi. Tetapi usaha akal manusia dalam rangka memahami dan menggambarkan hukum ideal bersifat relative, konsekuensinya, beragamnya hasil pemikiran yuridis tentang isi syari’ah telah diterima sebagai satu kenyataan. [7]
B.  Ruang Lingkup Pembahasan
Coulson menggambarkan kesatuan dan keragaman dengan mengkristalisasi dalam empat mazhab yang berbeda. Pada dasarnya mazhab-mazhab ini dibentuk melalui kesetiaan personal dari kelompok-kelompok ahli hukum (faqih) terhadap pendirinya yang merujuk kepada nama masing-masing seperti hanafi, maliki, syafi’I dan hambali, tetapi masing-masing mazhab mempunyai keadaan asal yang khas. [8]
Mazhab tertua adalah Hanafi dan Maliki (w. 767 M) kufah, Malik bin Anas (w. 797 M) Madinah. Dalam masa awal yurisprudensi islam bercirikan pemakaian bebas akal seseorang untuk mengatur kasus-kasus yang secara khusus tidak ditentukan oleh teks al-qur’an atau keputusan Nabi, sehingga doktrin Maliki dan Hanafi, berbeda secara wajar sepanjang mereka meletakkan dan merefleksikan tradisi dan lingkungan social yang khusus dari dua lokasi yang berbeda. [9]
Coulson membandingkan dengan Mazhab Syafi’I dan Hanbali didukung dari kontroversi yurisprudensi yang muncul pada abad ke-9 tentang sumber-sumber hukum agama. Murid-murid syafi’I, yang pertama kali merumuskan teori hukum yang sistematik yang berasal dari al-qur’an, as-Sunnah dan al_qiyas, membentuk mazhab Sya’fi, setelah ia wafat tahun 820. Kira-kira 30 tahun kemudian kelompok ulama di bawah pimpinan Ahmad bin Hanbali (w.855) membentuk mazhab hambali. Mereka berdiri kokoh di belakang prinsip akan pentingnya Sunnah Nabi yang menurut mereka hal itu telah dikalahkan oleh bentuk-bentuk penggunaan akal oleh mazhab-mazhab sebelumnya.
Ilmu pengetahuan hukum lebih mereduksi konflik antara mazhab-mazhab itu dengan tuntutan bahwa setiap muslim bebas secara mutlak untuk mengikuti mazhab yang menjadi pilihannya dan pengadilan Islam manapun harus menggunakan hukum dari madzab yang dianut oleh penggugat.
Semua imam madzab empat adalah benar. Artinya bahwa ijtihad dari mereka, disisi Allah ‘Azza wa Jalla, dianggap benar andaikata mereka yakin betul akan hakikat hukum yang dikehendaki oleh Allah kepada hambaNya dalam masalah-masalah yang sifatnya ijtihadiyyah. [10]
C. Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa teori hukum berusaha keras untuk menegaskan kesatuan hukum yang fundamental dalam Islam dengan anggapan bahwa empat mazhab memiliki kewenangan yang sama dan memadukannya sebagai manifestasi dari esensi tunggal yang sama dan memadukannya sebagai manifestasi dari esensi tunggal yang sama. [11]
Tetapi di dalam praktek, batas-batas antara mazhab-mazhab tersebut tertutup rapat. Masing-masing mazhab dalam hubungannya dengan geografis muncul memiliki lingkungan pengaruh yang tetap banyak. Pengadilan dari daerah tertentu yang secara konsisten menggunakan doktrin-doktrinnya. Maka pada umumnya, fiqh Hanafi digunakan secara tradisional di daerah Timur Tengah sekarang meliputi Turki, Syiria, Libanon, Irak, Yordania, Mesir, Sudan dan anak benua India. Fiqh Maliki mengusai masyarakat Muslim di daerah Afrika Utara, Barat dan Tengah. Fiqh Syafi’i resmi di kerajaan Saudi Arabia. Selain itu menurut doktrin mazhab yang sama-sama ortodok, teori hukum cenderung menekankan hukum adat mereka dan memperkecil perbedaan. Ini membuat kesan bahwa mazhab-mazhab dalam masalah hukum yang substantive berjalan lebih dalam dari pada ini.
Pandangan sudut hukum internasional atas proses tersebut melahirkan hukum islam yang pluralistik, secara singkat, prinsip eklektik (talfiq) telah dipakai untuk menyesuaikan hukum kepada watak khusus dari masyarakat Muslim sekarang ini. Ini merupakan proses tujuan sosial yang baik dan telah memberikan arti praktis baru dan lebih dalam terhadap diktum Nabi yang terkenal ” Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat dari Allah”. [12]
3. OTORITAS DAN KEBEBASAN

A.  Problem Akademik / Topik
Noel James Coulson menggambarkan adanya ukuran kebebasan seorang hakim atau faqih dalam menentukan hukum, dan sekaligus membandingkannya dengan sikap dan pandangan yang secara umum berlaku sejak awal abad pertengahan sampai abad sekarang dengan pola pandang baru seperti yang muncul di Negara-negara Islam kontemporer. [13]
Inti permasalahan yang diungkapkan Coulson, mempertanyakan otoritas apa sehingga doktrin yang dihasilkan mampu menguasai praktek baik bagi ahli hukum yang tugasnya menjelaskan hukum secara rinci maupun bagi hakim yang tugasnya mengaplikasikan hukum. Dalam interpretasi teks wahyu Tuhan yang telah diterima umum atau dalam peraturan menyangkut kasus baru, apakah seorang hakim atau ahli hukum memiliki kebebasan personal untuk memutuskan, atau diwajibkan mengikuti otoritas yang diakui?. [14]
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Coulson menggambarkan pada awal abad ke-10 nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas. Karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya, berarti pintu ijtihad, telah tertutup. Generasi ahli hukum masa berikutnya tidak lagi mempunyai hak penyelidikan yang independent dan bahkan diikat oleh prinsip taklid kepada doktrin para pendahulunya. [15]
Hakim atau ahli hukum tidak lagi merasa bebas mempertimbangkan teks al-Qur’an atau as-Sunnah, tidak dapat lagi menjelaskan dengan analogi atau menggunakan istihsan. Seperti telah ditunjukkan keputusan Umar dalam masalah himariyah atau perumusan fiqh Malik yang terkenal.
Berbagai teori telah diberikan untuk menjelaskan fenomena tertutupnya pintu ijtihad dan doktrin taklid ini. Menurut Coulson teori-teori seperti itu adalah khayal dan tidak ada gunanya.[16]  Baginya tujuan esensial hukum adalah untuk memantapkan aturan social. Coulson mempertimbangkan hasil pendekatan baru ini muncul di dua wilayah timur tengah dan Pakistan dan untuk memperlihatkan bagaimana pendekatan baru ini telah menimbulkan perubahan-perubahan penting tertentu dalam hukum syari’ah tradisional tentang perceraian.
Perceraian menurut hukum islam tradisional dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara-cara prinsip. Pertama, dengan persetujuan bersama suami istri, permufakatan sederhana dicapai untuk membubarkan perkawinan dengan tidak perlu menempuh proses pengadilan. Kedua, putusan perceraian dari pengadilan mengabulkan permohonan istri yang menetapkan bahwa suami menderita penyakit ingatan atau penyakit jasmani, atau bersalah karena pelanggaran perkawinan, seperti penganiayaan, meninggalkan keluarga atau gagal memberi nafkah, yang membuat kehidupan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Ketiga, pemutusan perkawinan secara sepihak oleh suami yang menggunakan kekuasaannya yang dikenal dengan talaq, suatu proses yang membedakaannya dari bentuk-bentuk perceraian yang lain, disebut dengan “repudisi” (penolakan) istri oleh suami. Menurut consensus fuqaha tradisional, kekuasaan penolakan yang dimiliki suami adalah sewenang-wenangan. [17]
Coulson melukiskan dalam pembahasan tentang otoritas dan kebebasan, dengan memilih hukum keluarga Negara Syiria yang diundangkan pada tahun 1953. Mukaddimah hukum tersebut yang membahas masalah perceraian adalah cukup fair. Tujuan yang benar dari peristiwa-peristiwa perceraian di dalam islam, yang telah dirumuskan telah disalahmengerti dan dirusak oleh para ahli hukum masa lalu, karena itu doktrin yang dirumuskan tidak memberikan perlindungan yang cukup dalam kehidupan perkawinan dalam Islam dan mengadopsi ketetapan dari luar empat mazhab yang dapat mewujudkan “kesejahteraan masyarakat.”  Menurut kesepakatan para ulama mazhab, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istri) atas kehendak sendiri tidak dinyatakan sah kecuali Hanafi yang mengatakan bahwa talak yang dijatuhkan orang yang dipaksa itu sah. [18]
Tetapi setelah ajakan yang keras dari mukaddimah ini, dua penyimpangan utama dari hukum talaq tradisional muncul, mungkin sebagai sesuatu anti klimaks.[19]
C.  Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa pemikiran independent masih lebih merupakan pengecualian dari pada aturan pada umumnya, dan walaupun penghormatan yang tinggi terhadap otoritas tradisional, mengandung arti, seperti dictum dari salah satu kasus di Pakistan. Bahwa mereka “tidak mudah diganggu gugat.” Namun ada kecenderungan yang nyata sekarang ini tentang kebebasan penyelidikan independent yang lebih besar untuk mengetahui dengan pasti istilah-istilah hukum agama.
Tentu saja penyelidikan seperti itu hanya dapat berjalan skup yang sangat terbatas. Usulan apa saja yang beranjak dari hukum otoritas klasik harus selalu didasarkan atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an atau as-Sunnah. Tentu saja ini merupakan proses pemikiran hukum yang jauh dari ide keleluasaan yang tak terbatas dan tingkah qadi yang sewenang-wenang, yang duduk di bawah pohon palm, tanpa prinsip bagaimana berbuat, dan “tanpa aturan hukum yang menuntunnya.” [20]



A.  Problem Akademik / Topik
Noel James Coulson menggambarkan sikap idealisme obyektif yang muncul mendominasi yurisprudensi Islam. Selama masa-masa pertama periode pertumbuhan hukum, doktrin dan praktek saling berhubungan sangat dekat. Hukum timbul dari keputusan-keputusan pengadilan yang bersifat actual pada masa Nabi, masa para penggantinya seperti khalifah Umar, serta dari para qadi masa pertama.
Perdebatan Yurisprudensi yang dimulai menjelang akhir abad ke-8 dan akhirnya menghasilkan teori sumber hukum, muncul ide tentang syari’ah sebagai system perintah Tuhan yang komprehensif dan ditentukan sebelumnya, sebuah system hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari masyarakat, tidak timbul dari masyarakat. Dan penemuan hukum murni ini dirasakan sebagai tugas yang terbaik yang dijalankan terpisah dari praktek. [21]
Idealisme para ahli hukum abad pertengahan ini mengadopsi peran penasehat spiritual yang menekankan hati nurani dari pada terhadap penyelenggara perkara prakteknya, hal ini telah menciptakan perselisihan yang nyata antara doktrin hukum dan praktek hukum serta pemisahan yang jelas antara peran faqih dan peran hakim. Oleh karena itu dalam islam ada ketegangan yang signifikan antara ideal hukum dan realitas social.
B.  Ruang Lingkup Pembahasan
Coulson menggambarkan adanya gap antara pola ideal hukum syari’ah seperti telah dijelaskan secara rinci oleh para fuqaha dan praktek hukum actual dalam islam, telah diakui dan disyahkan oleh ilmu pengetahuan hukum melalui doktrin yang dikenal dengan siyasah syar’iyyah, atau “ilmu pemerintahan yang sesuai dengan hukum Tuhan.” [22]
Selama periode akhir abad ke-19 dikotomi dalam praktek hukum islam menjadi lebih jelas lagi. Hadirnya kekuasaan orang-orang Eropa Barat di Timur dekat dan Timur Tengah telah menghasilkan ekspansi perdagangan cepat dan perkembangan tekhnik perdagangan baru. Dan sebagai cara yang paling realistis untuk memenuhi situasi ini, negara-negara Muslim di Timur dekat dan Timur Tengah memberlakukan secara resmi undang-undang perdagangan dan prosedurnya berdasarkan atas model Eropa. [23]
C. Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa adanya ketegangan antara Idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dengan perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum. Pendekatan seorang realis terhadap pertanyaan tentang peran hukum dalam masyarakat Muslim telah punya arti pada masa lalu dan lebih-lebih masa sekarang bahwa idealisme doktrin baik dalam masalah-masalah substansi maupun prosedur, di dalam praktek terpaksa harus tunduk kepada kepentingan Negara dan masyarakat.
Tentu saja, doktrin syari’ah tradisional masih tetap menjadi system kehidupan ideal dan komperhensif bagi masa keemasan Islam pada masa lalu maupun yang akan datang. Dan bahkan adanya kritik yang terang-terangan ia tetap menjadi pusat pemikiran hukum. [24]

5. HUKUM DAN MORALITAS

A.  Problem Akademik / Topik
Yang berbeda sama sekali dengan pembahasan yang menjadi objek pembahasan Noel, yaitu Islam. Dalam aqidah Islam menerangkan bahwa akhirat dan setiap pembalasannya adalah sesuatu yang pasti, sebagaimana kepastian bahwa sebuah kendaraan bermotor pasti ada yang membuatnya, maka demikian juga akhirat itu. Maka setiap peraturan perundang-undangan yang lahir dari aqidah Islam yang dilaksanakan di muka bumi akan memiliki konsekuensi pasti terhadap akhiratnya.
BRuang Lingkup Pembahasan
Adapun contoh yang diangkat Noel dalam bab ini adalah tentang perkawinan diantara dua mazhab, meskipun ada kesempatan untuk bercerai, semua mazhab sunni sepakat bahwa akad perkawinan, pada hakekatnya adalah perjanjian untuk bersatu secara abadi, dan karena itu akad perkawinan yang berisikan dengan sengaja untuk suatu masa waktu yang terbatas adalah sama sekali bukan perkawinan dan batal menurut hukum.  [25]
Menurut fiqh Hanbali akad perkawinan yang mengandung makna tertentu juga batal, meskipun tidak ada syarat batas waktu yang nyata, ada bukti bahwa yang berakad itu sebenarnya bermaksud untuk kawin sementara. Tetapi menurut fiqh Hanafi, bukti dari maksud fikiran atau hati pihak-pihak yang berakad adalah tidak relevan. Jika akad eksternal dan formal, lisan atau tulisan, adalah sesuai dengan syarat-syarat hukum, perkawinan itu adalah sah. [26]
Sementara itu Imamiyah, hanafi, Syafi’i dan hanbali berpendapat bahwa perkawinan itu dianggap terbukti adanya, melalui berita yang tersebar sekalipun tidak sampai pada tingkat mutawatir (tidak mengandung kemungkinan bohong). [27]
Para pengikut Hanafi puas dengan pernyataan bahwa maksud yang tidak benar apapun dari pihak-pihak yang berakad boleh jadi masalahnya diserahkan antara mereka sendiri dan Allah.
C. Contribution To Knowledge
Dari pernyataan Noel tersebut mengindikasikan bahwa masalah hati harus tetap diperhitungkan dalam hukum, sedangkan Islam karena memiliki aqidah yang jauh berbeda dengan yang lainnya, maka masalah niat di hati diserahkan pada Allah, dan ini benar karena dalam islam memberitahukan bahwa sesuatu itu tidak diperhitungkan sebagai dosa selama berada dalam niat dan belum sempat dilaksanakan oleh pelakunya.
Kalaupun hal itu dia lakukan seperti dalam masalah perkawinan tadi, maka pertanggungjawabannya tentu saja langsung pada Allah. Dan sebenarnya perbedaan pendapat antara fuqaha dan Noel adalah berasal dari paradigma yang melatarbelakanginya, bahwa Islam mempercayai adanya balasan baik buruk di akhirat, sedangkan Noel tidak.
 6. STABILITAS DAN PERUBAHAN

A.  Problem Akademik / Topik
Yurisprodensi Islam kontemporer cenderung memberi tekanan pada kelompok konsep yang terakhir dari pada yang sebelumnya dalam rangka memenuhi kebutuhan nyata untuk penyesuaian hukum terhadap kondisi baru kehidupan modern.
Dalam bab ini Coulson bermaksud mempertimbangkan pengertian secara umum fenomena perubahan belakangan ini di dalam sistem hukum Islam dan pentingnya masalah ini dipandang dari sudut perkembangan pemikiran yurisprudensi. [28]
BRuang Lingkup Pembahasan
Dalam pembahasannya Coulson menyoroti masalah perubahan dalam substansi hukum keluarga seperti telah diterapkan oleh pengadilan dalam beberapa dekade yang telah lalu, mempunyai arti sosial yang sangat dalam. Status wanita bertambah baik, umpamanya membebaskan mereka dari institusi wajib nikah yang ditandatangani oleh walinya. Termasuk dengan memberi hak untuk mengajukan permohonan cerai jika suami salah karena beberapa pelanggaran perkawinan, dan memberi batasan poligami suami serta perceraian sepihak.  [29]
Masyarakat Islam tradisional bersandar kepada kelompok suku melalui keturunan laki-laki, keluarga famili laki-laki secara luas yang mencari keturunan mereka melalui hubungan laki-laki dari leluhurnya.
Dalam masalah hukum di Irak tentang status personal yang diundangkan secara resmi tahun 1959 tidak ada keputusan apapun mengenai ganti rugi bagi istri yang telah dicerai. Perceraian sekarang dapat terjadi di Iran hanya jika suami istri dapat membuktikan kepuasan pengadilan bahwa saut dari alasan-alasan cerai itu ada, sebagaimana ditetapkan ole undang-undang. Dalam undang-undang ini suami istri berdiri di atas keseimbangan yang pasti. [30]

C. Contribution To Knowledge
Kekuatan stabilitas dan kekuatan yang menggerakkan perubahan pada Islam kontemporer membawa goncangan serbuan dari kekuatan perubahan, hal itu ditandai dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat Islam sekarang ini seperti yang dipahami oleh para reformer. Sebagian dari itu, seperti hukum perdagangan dan pidana hampir sama sekali musnah. Tetapi bidang hukum keluarga masih bertahan, berkat proses penyebaran kembali dan rekonstruksi pertahanannya.
Yurisprudensi Islam sekarang ini tepat sekali menghadapi tugas pengaturan kebutuhan dan aspirasi kehidupan manusia. Ini merupakan seni menghadapi tujuan sosial. Hal ini merupakan prestasi riil yurisprudensi Islam sekarang ini dan harus mampu untuk selalu memberikan inspirasi untuk kehidupan masa depan.

 VIII. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
1. KELEBIHAN
Disatu sisi uraian Noel J. Coulson dalam bukunya tersebut terdapat kelebihan-kelebihan, diantaranya pembahasan yang dikaitkan dengan pemikiran hukum yang berkembang di kalangan masyarakat barat. Secara selintas, hubungan masing-masing dua kutub yang diungkapkanya nampak berbeda dan bahkan bertentangan, namun jika dicermati akan dapat dipahami keduanya secara simbiosis saling berhubungan.
Disinilah letak kesamaan pemikiran Coulson dengan umat Islam pada umumnya dan sekaligus berbeda dengan sejumlah Orientalis yang cenderung menggunakan pendekatan dan teori konflik dalam melihat realitas umat.
2. KEKURANGAN
Sedang disisi yang lain uraian Noel J. Coulson banyak terdapat kekurangan-kekurangan, apalagi apabila ditelaah oleh anti pemikiran baat. Noel J. Coulson bermaksud memperbandingkan fakta dengan otoritas dalil-dalil syar’I, atau bisa dikatakan dengan membenturkan fakta yang berlawanan arah dengan yang menjadi otoritas dalil syar’I, sehingga dia bemaksud untuk menggoyang kemapanan dalil syar’i.
Apa saja fakta yang diungkap oleh Noel dalam bukunya di bab ini, seperti banyak kasus persengketaan dalam rumah tangga, sebenarnya adalah kasus-kasus yang bermunculan ketika sistem kehidupan Islam yang kompleks tidak lagi diterapkan, sehingga kasus-kasus tersebut menuntut adanya solusi yang perlu dipecahkan dengan bukan solusi yang berasal dari sistem Islam. Namun sebenarnya solusi yang bukan berasal dari Islam tersebut hanya akan terus menimbulkan permasalahan baru dari segi dunia, dan kemurkaan Allah diakhirat kelak.
Solusi Islam memang akan menimbulkan kemudharatan yang besar apabila diterapkan pada suatu masalah yang muncul akibat dari tidak diterapkannya kehidupan Islam yang kompleks, namun akan memberikan dampak yang luar biasa apabila diterapkan pada masalah yang muncul ditengah-tengah penerapan sistem kehidupan Islam. Seperti kasus potong tangan dan rajam, tentu saja akan menjadi bencana apabila diterapkan sistem sosial ekonomi kapitalis yang membuat banyak orang mencuri dan berzina karena faktor ekonomi, namun akan berdampak positif apabila diterapkan saat sistem sosial ekonomi Islam diterapkan.
Noel selalu mengangkat kasus rusaknya kehidupan dunia Islam yang mengguncang otoritas hukum Islam, namun semua kejadian itu lebih banyak bermunculan setelah kekuasaan pemerintahan Islam tumbang oleh konspirasi jahat kaum kuffar. Dan bisa dikatakan tidak ada kasus yang muncul disaat sebelum tumbangnya kekuasaan Islam disuatu wilayah tertentu yang dahulunya dibawah kekuasaannya.
Noel mengatakan “tetapi ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan berubah, maka hukum yang sudah tetap itu mulai dipertanyakan dan otoritasnya menjadi hancur. Hukum Islam ternyata tidak lebih immun dari proses umum ini dari pada sistem hukum yang lain”. Jelas ia ingin menggoyahkan otoritas hukum Islam dengan fakta-fakta yang berlawan. [31]

VIII. METODE PENULISAN BUKU
Noel J. Coulson dalam menulis buku yang berjudul Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence tersebut menggunakan pendekatan perspektif sejarah dan sosial. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai problem seputar kasus yang ditampikan Coulson dalam penjelasannya. Coulson menghubungkan konflik yang terjadi antara dua kutub yang bertolak belakang dengan sejarah yang telah terjadi untuk memperjelas diskripsinya.



[1].  Noel J. Coulson. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hal. 5.
[2].  Ibid, hal. 6.
[3].  Noel J. Coulson. Op.cit, hal. 10.
[4].  Imron, AM. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), hal. 38.
[5].  Noel J. Coulson. Op.cit, hal. 24.
[6]. Ibid, hal. 24.
[7].  Ibid, hal. 26.
[8]. Ibid, hal. 27.
[9]. Ibid, hal. 27.
[10]. Muhammad Said Ramadhan Al-Buuthi. Bahaya Bebas Madzab, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal. 40.
[11].  Noel J. Coulson. Op.cit, hal. 30.
[12].  Ibid, hal. 48.
[13]. Ibid, hal. 50.
[14].  Ibid, hal. 50.
[15].  Ibid, hal. 53.
[16]. Ibid, hal. 53.
[17].  Ibid, hal. 56.
[18].  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hal. 164.
[19].  Noel J. Coulson.  Op.cit, hal. 57.
[20].  Ibid, hal. 70.
[21].  Ibid, hal. 74.
[22].  Ibid, hal. 84.
[23].  Ibid, hal. 88.
[24].  Ibid, hal. 94.
[25].  Ibid, hal. 107.
[26].  Ibid, hal. 107.
[27].  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hal. 26.

[28].  Noel J. Coulson.  Op.cit, hal. 120.
[29].  Ibid, hal. 120.


[30].  Ibid, hal. 141


[31].  Noel J. Coulson. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hal. 54.



DAFTAR PUSTAKA

Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Imron, AM, Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam,  PT. Bina Ilmu, Surabaya , 1981.
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima mazhab,  Basrie Press, Jakarta ,1994.
Muhammad Said Ramadhan Al-Buuthi, Bahaya Bebas Madzab, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence,  The University of Chicago Press, Chicago & London , 1969.